PENOMENA ANTARA UU PERS DENGAN PELAYANAN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MELAHIRKAN TRANSPARANSI

Pandeglang, 29 Oktober 2023

Dalam pelaksanaan kerjanya wartawan dihadapkan kepada amanah yang tertuang dalam UU pers No 40 tahun 1999, salah satu dari sekian banyak amanah yang di emban tersebut seorang wartawan di berikan kebebasan untuk mencari, memperoleh, menerima informasi untuk bahan konsumsi publik. Informasi yang diperoleh tersebut selanjutnya di uji kembali keakuratan dari informasi, sehingga mampu menghasilkan sebuah berita yang bisa di pertanggung jawabkan demi kepentingan umum.

Dalam pelaksanaannya seorang wartawan tidak mudah untuk mengaplikasikan produk perundang-undangan yang ada, pasalnya di hadapkan kepada mentalitas dari wartawan itu sendiri, apalagi dinamika di lapangan masih teramat banyak onum pimpinan birokrasi yang menginginkan dan menekankan agar para wartawan datang berkunjung hanya sebatas silaturahmi, dikasih uang bensin selesai. Padahal peran wartawan dalam memberikan edukasi informasi termasuk salah satu peran sentral dalam mengukir nilai transparansi di birokrasi teramat penting, masih tidak terhitung di republik ini para oknum pimpinan birokrasi dalam menjalankan tufoksi tidak sesuai dengan asas transparan, terbuka dan akuntabel. Salah satu yang memperihatinkan adalah terjadi di dunia pendidikan, di sekolah sekolah, satu contoh penggunaan dana BOS masih terkesan antara bumi dan langit untuk sampai ke tingkat transparansi, bukan hanya papan informasi yang tidak di pergunakan sebagai mana mestinya, tetapi para guru pun masih banyak yang tidak tahu bahkan tidak diajak bicara dalam hal penggunaan anggaran dana BOS, apalagi masyarakat tentunya sangat awam terhadap hal tersebut.

Seorang wartawan yang menjalankan fungsi kerjanya tentu berlandaskan kepada UU pers nomor 40 tahun 1999, dalam prakteknya ketika berhadapan dengan para oknum kepala sekolah masih ada saja oknum pimpinan birokrasi tersebut yang berlindung di bawah ketiak kedekatan dengan siapa saja yang mereka anggap bisa dijadikan beking demi memuluskan agar nilai transparansi tersebut tidak dapat berjalan sesuai amanat perundangan.

Kendala tersebut begitu kental terjadi di dalam pelaksanaan kerja seorang wartawan apalagi jika sang wartawan tersebut masih pemula. Media BIN mencermati hal hal tersebut diatas, sehingga untuk mendorong terjadinya animo para pimpinan birokrasi dalam memberikan informasi sebagai kewajiban mereka dalam menunaikan transparansi publik maka setiap wartawan media BIN berkunjung ke setiap narasumber adalah dalam kerangka melaksanakan liputan untuk publikasi sebagai bahan konsumsi publik. Awak media BIN tidak di perkenankan untuk berkunjung hanya sebatas silaturahmi karena hal ini justru akan memporak porandakan semua tufoksi, baik itu tufoksi sebagai wartawan maupun tufoksi sebagai pimpinan birokrasi yang memiliki kewajiban memberikan informasi untuk melahirkan transparansi di tengah masyarakat. Efek yang terjadi jika seorang oknum wartawan hanya silaturahmi maka ini akan dipergunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga kedepannya akan banyak para oknum wartawan yang hanya sekedar berkunjung silaturahmi berucap kesana kemari dengan pimpinan birokrasi ujungnya berharap pulang bawa uang bensin. PENOMENA ini apabila di biarkan maka akan berlanjut kepada minimnya fungsi pengawasan yang merupakan salah satu peran adanya media sebagai sarana untuk menciptakan transparansi publik.

Buruknya pelayanan publik berdampak kepada sikap dan prosedural para pimpinan birokrasi dalam menyikapi berbagai tantangan jurnalistik, ketika dimintai informasi betapa sulit dengan banyak dalih, padahal setiap narasumber mempunyai hak konfirmasi dan klarifikasi, namun hal tersebut tidak dipergunakan dengan baik, pada oknum birokrasi lebih memilih curhat kepada para rekanan mereka yang dianggap dekat dan sejalan dengan keinginan para oknum pimpinan birokrasi, sehingga fungsi pengawasan dan transparansi yang menjadi kewajibannya nyaris lemah dan tidak ada. (Red)